Kamis, 23 Februari 2017

ALFIAN

Alfian. Alfian adalah salah satu anak berkebutuhan khusus yang tinggal di perumahan dekat rumah saya. Dia autis. Entah kenapa beberapa kali saya bertemu dengan anak-anak autis dan semuanya laki-laki, dan ganteng. Saya juga kurang tau apakah memang autisme lebih banyak terjadi pada anak laki-laki atau hanya kebetulan saja yang saya temui adalah laki-laki.

Menghadapi ABK memang tidak sama dengan menghadapi anak-anak lainnya. Sering saya amazing dengan mereka. Cara mereka ketika menyukai sesuatu, memori mereka, semua sangat luar biasa. Cuma sayang, banyak orang yang tidak paham tentang 'kekhususan' mereka. Ga jarang saya melihat orang-orang menatap mereka dengan aneh, kadang marah karena merasa dibentak oleh anak autis, padahal begitulah cara anak-anak itu berbicara.

Beberapa bulan lalu, Alfian datang beli nasi uduk di rumah saya. Waktu itu Alfian datang sendiri. Agak aneh saya lihatnya, karena biasanya dia berdua dengan ibunya naik motor, tapi waktu itu Alfian sendiri jalan kaki. Karena sebelumnya saya sudah mengenalnya, jadi saya mengahadapinya dengan biasa. Alfian minta "Nasi uduk lima ribu. Nasi uduk lima ribu. Nasi uduk lima ribu." itu terus yang dia ucapkan sampai nasi uduk siap dihadapannya. Saya hanya tersenyum melihat anak itu, mandiri, itu yang ada dibenak saya.
Keesokannya Alfian datang dengan ibunya, dia bilang "kemarin Alfian makan nasi uduk di sini" berulang kali dia ucapkan. Ibunya hanya tersenyum khawatir anaknya kurang bayar nasi uduk.

Setelah itu jarang saya lihat Alfian muncul, dan setiap kali dia lewat dengan ibunya, dia selalu bilang "nasi uduk di sini". Lagi-lagi hanya senyum yang bisa saya berikan.

Hari ini, Alfian datang "nasi uduk di sini". Tadinya dia hanya minta nasi uduk pakai bawang goreng yang banyak. Dan akhirnya minta semua lauk yang ada.
"Alfian makan nasi uduk di sini tanggal 4 Desember"
"Alfian makan nasi uduk di sini tanggal 4 Desember"
Terus dia ulangi kalimat itu. Dalam hati saya bilang "wow hebat inget tanggal pertama dia makan di sini, saya aja ga inget".

Alfian...Alfian... Mungkin orang melihatmu 'aneh'. Tapi saya melihatmu LUAR BIASA!!!

Minggu, 29 Januari 2017

TUHAN CIPTAKAN PERBEDAAN


Saya mengenal manusia itu banyak perbedaan sejak kecil. Yang saya ingat mulai dari SD. Ketika itu saya mengenal teman-teman dengan berbagai agama dan suku, ada yang Islam, Katolik, Protestan, suku Sunda, Jawa, Batak. Dalam buku pelajaran saya juga membaca tenang itu. Dan artinya menanaman tentang keanekaragaman, perbedaan, dan toleransi sudah ditanamkan sejak dini bukan hanya kepada saya sendiri tapi juga pada semua orang.

Bukan hanya keragaman agama, suku, dan budaya yang saya dapatkan. Saya juga mengenal perbedaan ketika melihat teman-teman yang memiliki "kelainan". Saya berteman dengan anak down syndrome, autisme, anak yang memiliki kelainan tulang sehingga ketika belajar harus menggunakan bangku khusus yang dibawa oleh orang tuanya. Saya mengenal mereka dengan baik, sangat baik. Saya mengerti mereka "berbeda".

Tapi dari perbedaan-perbedaan itu saya banyak belajar. Belajar tanpa teori, tanpa buku, tanpa biaya, dan tanpa pembimbing. Belajar menggunakan hati. Walaupun banyak perbedaan tapi kami sama, sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Dari mereka saya belajar menghargai. Ketika berteman dengan teman yang down syndrome, dia mengajak saya bermain salon-salonan, dia yang menyisirkan rambut saya, hampir menggunting rambut saya, mendandani saya. Ketika berteman dengan teman yang autis, awalnya saya kaget melihat tingkahnya, tapi kemudian dia bisa bercerita banyak sekali tentang kehidupannya. Ketika berteman dengan teman yang memiliki kelainan tulang, disaat teman-teman yang lain enggan duduk berdekatan dengan dia karena dia sering mencoret teman sebelahnya, tapi saya duduk di sebelah bangku khususnya, dekat sekali. Dia mencoret-coret meja saya, bahkan baju saya. Tapi rasa senang yang saya rasakan, saat itu saya berpikir ga apa-apa dia coret barang saya bahkan baju saya, toh barang bisa dibeli lagi, tapi muka bahagianya ketika bisa bercanda itu adalah hal yang tidak bisa dibeli dan dinilai dengan uang.

Mungkin ada yang bertanya kapan semua kejadian itu terjadi. Semua itu terjadi ketika saya SD, sekitar kelas 3 sampai kelas 5. Saya dapat bergabung dengan mereka yang "berbeda".

Ketika remaja sampai dewasa saya merasakan lagi perbedaan dari suku, ras, agama. Perbedaan yang sebetulnya secara teori sudah saya ketahui sejak usia dini. Tapi saat itu saya sebagai anak-anak tidak pernah menganggap itu perbedaan. Sejak kecil saya terbiasa saling bertukar bingkisan dengan kerabat kakek nenek saya ketika hari raya idul fitri dan natal. Saya menganggap itu hal yang biasa.

Di bangku kuliah juga saya bersahabat dengan teman-teman yang berbeda agama dan suku. Saya menganggap itu adalah hal yang biasa. Terakhir hal yang saya alami adalah seorang sahabat saya kehilangan ayahnya, dan kami berbeda keyakinan. "Susah untuk ikhlas" itu kata yang selalu dia katakan pada saya. Jujur saat itu saya ingin membantu sahabat saya, ketika ayahnya dalam kondisi kritis. Saya hanya bisa menenangkan dia dengan pendekatan global, bukan rohani karena kami berbeda keyakinan. Sulit. Itu yang saya rasakan. Dan akhirnya saya temukan cara apa yang harus saya lakukan, karena kita "berbeda".  Saya minta dia temui rohaniawan dari agamanya, saya mau tau apa yang rohaniawan itu katakan. Dan ternyata prinsip saya dan rohaniawan tersebut sama. Pastinya itu membuat saya lega karena saya bisa membantunya lebih dalam. Akhirnya saya bisa membantu menenangkan dengan pendekatan rohani dan cukup berhasil.

Lalu kenapa sekarang perbedaan itu sangat menjadi masalah besar?? Rasa tidak nyaman sangat saya rasakan ketika membuka sosial media dan hanya perbedaan yang dibahas dengan cara yang sangat angkuh karena merasa saya yang paling benar dan kamu salah. Semua itu semata-mata karena merasa berbeda. Padahal Tuhan yang menciptakan perbedaan. Kenapa? Untuk apa? Jawaban yang saya temukan adalah untuk kita mengetahui apa indahnya perbedaan.