REFLEKSI ANAK INDIGO DALAM PEREMPUAN MENCARI TUHAN
15/11/2009
Resti Nurfaidah
Abstrak
Anak indigo merupakan fenomena abad neew age, abad milenium. Anak-anak tersebut kerapkali menunjukkan karakter yang cenderung aneh. Terkadang, kehadiran mereka kerapkali menjadi bumerang bagi lingkungan sekitarnya. Bahkan, mereka sering dicap sebagai anak yang berperilaku menyimpang. Terlebih lagi bagi orang tua yang tidak sabar cenderung membawa anak indigo ke pusat rehabilitasi mental. Salah satu sebab yang membedakan anak indigo dengan anak lainnya adalah mereka senantiasa menunjukkan perilaku yang aneh. Padahal, tanpa mereka sadari kebanyakan anak indigo memiliki intelegensi di atas rata-rata atau bahkan kemampuan yang belum tentu dapat dimiliki anak sebayanya. Sementara itu salah seorang psikoterapis senior di Indonesia mengatakan bahwa anak indigo merupakan anak yang abnormal karena terjadinya kerusakan pada sistem otak. Sehubungan dengan hal itu, anak indigo harus mendapatkan penanganan yang tepat sejak awal dan mereka harus dianggap sebagai anak biasa. Berbeda dengan kondisi di negeri ini, Amerika menjadikan anak indigo sebagai aset yang sangat berharga. Di sana anak indigo dilibatkan dalam penanganan kasus kriminal. Semakin maraknya fenomena anak indigo tersebut, banyak penulis yang mengangkat hal itu ke dalam karya mereka. Salah satu di antaranya, dapat kita temukan dalam novel Perempuan Mencari Tuhan yang ditulis oleh Yudhistira. Novel tersebut bercerita tentang konflik antara anak indigo dan lingkungan sekitarnya. Lingkungan tersebut menunjukkan sikap tidak berterima kepada anak indigo. Tokoh Ganet menjadi korban ketidakberterimaan atas kelebihan yang dimilikinya. Hal itu menimbulkan kekecewaan dalam diri Ganet dan ia tidak bisa menerima kondisi itu. Hal itu tanpa sengaja membawanya menuju pintu gerbang pencarian jalan menuju Tuhan. Sayang sekali, Tuhan Mahakuasa yang ingin ia temui didapatinya di penghujung ajalnya. Novel tersebut sarat dengan penyampaian konflik antara lingkungan dan anak istimewa itu.
Kata kunci: anak indigo, ketidakberterimaan lingkungan, dan konflik
Abstract
Indigo children is one of the new age phenomenon. They sometimes showing as ones with some bad characters. Sometimes, their appearance is being a boomerang for their environtment. Even, they are accepted as children with psychological disorder. Most dispassionated parents take them to the mental rehabilitation center. One of the reasons is the indigo children always show their abnormal action. Whereas, they mostly have high standard of intelligence or the skill that not everyone can do. One of Indonesia senior psychiatrician said that actually the indigo children is abnormal ones because of their brain damage. Because of that, the indigo children must have right theraphy and are accepted to be normal ones. Meanwhile, another said that they can be useful state asset as America does. There, they are involved in the investigation of the crime. The reflection of indigo Children can be found in Perempuan Mencari Tuhan—a novel by Yudhistira. It is told us about the conflict between those indigo children and their environment. Bad acceptance emerges those conflict. Ganet, one of them, is a victim of unacceptance of her environment towards the skill that she has. She is very disappointed with it and can’t stand with the condition. This opens the gateway of exploring God, the Almighty that is at least she found in time with the coming her death. This writing is describing about the conflict of indigo children in the novel.
Key word: indigo children, environment unacceptance, and conflict
1. Pendahuluan
Sejak peralihan ke era milenium, kasus kehadiran anak indigo semakin merebak di berbagai belahan dunia. Anak indigo adalah sebuah istilah baru yang dicetuskan oleh Nancy Ann Tappe, seorang konselor, pada tahun 1980-an, untuk cahaya berwarna perpaduan antara biru dan merah yang menyelimuti tubuh seorang anak (Bataviase:2007). Perpaduan kedua warna itu terletak tepat di kening bagian tengah, di antara kedua alis mata.
Anak indigo sekilas tampak sama dengan anak-anak pada umumnya. Namun, jika diperhatikan lebih saksama tampak jelas perbedaannya. Gaya pembicaraan mereka cenderung seperti orang tua, sulit beradaptasi dengan teman sebaya, dan peka terhadap hal-hal yang terjadi di luar kemampuan manusia pada umumnya. Menurut Tobler (dalam Bataviase:2007), anak indigo memiliki beberapa karakter berikut:
1. mereka datang ke dunia dengan rasa ingin berbagi;
2. mereka menghayati hak keberadaannya di dunia ini dan heran bila ada yang menolaknya;
3. dirinya bukanlah yang utama, seringkali menyampaikan ‘siapa jati dirinya’ kepada orang tuanya;
4. sulit menerima otoritas mutlak tanpa alasan;
5. tidak mau/sulit menunggu giliran;
6. mereka kecewa bila menghadapi ritual dan hal-hal yang tidak memerlukan pemikiran yang kreatif;
7. seringkali mereka menemukan cara-cara yang lebih tepat, baik di sekolah maupun di rumah sehingga menimbulkan kesan “non konformistis” terhadap sistem yang berlaku;
8. tampak seperti antisosial, terasing kecuali di lingkungannya, sekolah seringkali menjadi amat sulit untuk mereka bersosialisasi;
9. tidak berespons terhadap aturan-aturan kaku (mis.: “tunggu sampai ayahmu pulang”);
10. tidak malu untuk meminta apa yang dibutuhkannya (banyak teori yang membahas masalah ini).
Akibat segala kelebihan yang dimiliki mereka, anak indigo kebanyakan justru menghadapi posisi dan kondisi yang sulit dalam hidupnya. Gaya pikiran yang cenderung futuristik serta perilaku yang lebih dewasa daripada teman sebayanya, membuat anak indigo kerapkali mengalami ketidakberterimaan dari lingkungannya, termasuk lingkungan terdekat atau keluarga sekalipun.
Beberapa pakar metafisika dan psikiater menyatakan bahwa sistem pendidikan kita belum dapat mengakomodasi kebutuhan anak indigo sehingga mereka mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan guru dan teman-teman sebayanya. “Penolakan” yang bertubi-tubi itulah yang menyeret sebagian besar anak indigo pada frustasi. Emosi yang cenderung labil dan tiadanya tempat untuk mengaktualisasikan diri sepenuhnya mengakibatkan anak indigo cenderung mencoba cara alternatif yang negatif, misalnya menjadi pemakai obat-obatan terlarang atau penderita depresi.
Jika sistem pendidikan belum menerima keberadaan mereka, para pakar kejiwaan dan metafisika menyarankan bahwa diperlukan suatu wadah yang dapat menampung aktualisasi anak indigo yang pada umumnya dikaruniai satu atau banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak sebayanya. Sebenarnya kita selama ini menganggap bahwa anak indigo tersebut sama satu sama lain. Padahal, tidak demikian. Ada empat tipe anak indigo dengan kelebihan masing-masing. Tipe pertama adalah tipe interdimensional, yakni anak indigo yang memiliki ketajaman indra keenam. Ada pula tipe artis. Anak indigo dari tipe ini amat menonjol di bidang seni dan sastra. Lalu, ada tipe humanis yang mempunyai kelebihan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Biasanya mereka menggunakan kemampuannya untuk menolong orang lain. Tipe terakhir adalah tipe konseptual. Mereka amat menonjol dalam merancang suatu program, misalnya dalam rangka menyelamatkan perusahaan yang akan bangkrut atau membuat usaha baru yang booming dan mendatangkan keuntungan finansial bagi banyak orang. Selain keempat tipe tadi, kadar indigo setiap orang juga sangat berbeda. Sehubungan dengan hal itu, penanganan yang diperlukan bagi setiap anak indigo pun berbeda-beda (Megarini dalam Eriyanti, 2009:17).
Berdasarkan keempat tipe indigo tadi, sudah selayaknya anak indigo mendapatkan tempat yang tepat dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, ada pula beberapa pakar yang menyatakan bahwa anak indigo dapat dijadikan sebagai aset negara, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Lembaga pendidikan khusus anak indigo pun banyak didirikan di benua itu. Banyak pula anak indigo yang dilibatkan dalam tugas-tugas yang berkaitan dengan kriminal dengan mengandalkan kepekaan luar biasa yang dimiliki mereka.
Banyak perdebatan yang terjadi di kalangan pakar kejiwaan, psikologi, dan metafisika tentang kasus anak indigo tersebut. Sebagian mengatakan bahwa anak indigo merupakan anugerah illahi yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan umum. Sementara itu, sebagian lain menyatakan bahwa kasus tersebut tidak lebih dari kasus kerusakan otak pada bagian tertentu, sedangkan yang lain berpendapat bahwa anak indigo adalah produk zaman baru yang mengemban misi tertentu. Misi anak indigo dalam pandangan pakar metafisika adalah manusia yang dilahirkan untuk mengemban perdamaian dunia. Selain itu, Suhalim (dalam Yaya) mengatakan bahwa anak indigo merupakan produk perubahan perputaran bumi. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1980-an, resonansi bumi sekitar 7,83 Hz. Pada tahun 2000 resonansi bumi menjadi 8,5-9 Hz, sedangkan pada tahun 2004 sudah mencapai 13,5 Hz. Secara teoretis getaran bumi yang semakin cepat akan membuat bumi semakin panas dan suhu ikut meningkat. “Kenaikan ini juga mengakibatkan perubahan yang cukup signifikan sehingga membutuhkan orang tertentu untuk menyeimbangkannya,” lanjut konsultan fengsui dan aura ini. Kelahiran anak-anak berbakat inilah yang akan membantu getaran bumi berjalan lebih smooth, lebih mulus. Kelahiran mereka ditujukan untuk mengubah tatanan dunia supaya menjadi lebih nyaman. Di lain pihak, ada pula yang berpendapat bahwa makhluk indigo muncul bukan tanpa sebab. Lucky (2007) menyatakan bahwa anak indigo muncul karena tiga sebab berikut, yaitu:
1. berasal dari keturunan yang masih memberlakukan sirik, misalnya menyimpan keris yang dianggap memberi berkah dsb atau memelihara benda pusaka lainnya;
2. turunan dari kakek, pokoknya ada keturunan keluarga yang juga indigo;
3. tidak turunan, tetapi jin mencoba untuk mengikuti anak tsb.
Uraian singkat tentang anak indigo tadi penulis jadikan dasar analisis pada sumber data, yaitu novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira. Analisis tersebut penulis jadikan sebagai pembuktian apakah uraian tadi dapat berterima atau tidak berterima dengan sumber data yang penulis ambil.
2. Refleksi Anak Indigo Dalam Perempuan Mencari Tuhan
Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Yudhistira (2007) bercerita tentang kematian seorang gadis belia bernama Clara. Kematian Clara ternyata berbuntut panjang. Pascakematiannya banyak menimbulkan peristiwa aneh yang dialami oleh keluarganya. Peristiwa aneh itu terus berlanjut sampai kelahiran Ganet—anak Zahra. Keponakan kecilnya itu ternyata terus dibuntuti oleh Clara. Beberapa pesan Clara disampaikan dengan baik oleh bocah kecil yang ajaib itu. Ganet mewarisi keanehan yang dimiliki oleh Zahra dulu. Salah satu tantenya, Laksma, sangat meyakini Ganet sebagai reinkarnasi Clara terlebih dengan segala kemiripan yang dimiliki bocah itu. Nasib Ganet pun hampir sama dengan nasib tantenya yang sudah lama berpulang lebih dulu itu.
Novel itu diawali dengan peristiwa kematian Clara. Suasana kematian yang berjalan alot terungkap seutuhnya pada bagian itu. Nuansa kematian menyiratkan nuansa pucat dan kesedihan. Pada saat ajalnya itulah, Clara baru menyadari siapa Tuhan dan siapa malaikatulmaut, sosok yang sempat membuatnya sangat ketakutan dan mengunci mulutnya dari kalimat ilahiah. Dengan gigih Laksma—kakak yang selama ini selalu membencinya, yang menunggui Clara pada saat-saat terakhirnya itu—terus mendesakkan nama Tuhan ke telinga Clara. Clara mampu menghilangkan rasa takutnya dan berserah diri kepada Tuhan. Dengan legowo Clara menyerahkan desah napas terakhirnya teriring sebutan nama Tuhan di mulutnya.
Susah payah Laksma mengendalikan Clara. Hingga akhirnya nama Tuhan tereja di bibir Clara dengan terbata-bata. Sangat jelas bayang-bayang kematian Clara di mata Laksma. Wajah Clara begitu sunyi. Hening.senyap. (PMT:3)
Namun, kematian Clara ternyata berbuah rangkaian peristiwa aneh yang dialami, terutama oleh keluarga terdekatnya. Beberapa peristiwa aneh tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut.
1. Peristiwa aneh di pascapemakaman Clara: Kedua kaki Zahra seolah tertancap kuat pada kulit bumi. Bobot tubuhnya bertambah drastis sehingga Laksma tidak mampu menariknya saat mengajak pulang adik satu-satunya itu. Dinding pemakaman mendadak tumbuh meninggi dan menebal. Pepohonan di pemakaman juga mengalami hal yang sama, tumbuh kian menjulang tinggi hingga hampir menggaruk langit. Bunga kematian jatuh berguguran, menebarkan aroma wangi misterius di sekitar pemakaman, dan kunang-kunang hadir menghias malam. Kedua kakak beradik itu terjebak di pemakaman hingga akhirnya kelelahan dan tertidur pulas di tempat itu. Ibu yang menyusul ke tempat itu pun mengalami hal yang sama (hlm. 8—20).
2. Waktu berlalu sangat cepat: Peristiwa aneh di pemakaman tersebut rupanya telah menjebak ibu dan kedua anaknya itu selama satu minggu. Padahal, mereka merasa bahwa peristiwa itu hanya berlangsung semalam saja (hlm 22—25). Peristiwa yang sama juga dialami mereka setelah Ganet tumbuh dan bersekolah (hlm. 181—182).
3. Keindahan surga di kamar Clara: Zahra, yang tidak sempat memenuhi keinginan sang kakak, membawakan Clara syal dan selimut kesayangannya. Zahra juga melihat sebuah pemandangan yang sangat indah di kamar Clara (hlm. 27—29).
4. Keanehan Zahra hanya dirasakan oleh ibunya (hlm.35).
5. Peristiwa kotak sepatu: Laksma merasa heran karena kotak sepatu yang ia cari ditemukan tidak pada tempat semula ketika menyimpannya dulu (hlm. 46—47 dan 50).
6. Clara menjadi psikiater: Psikiater yang ditemui Zahra memiliki fisik yang identik dengan Clara. Namanya pun sama, Clara. Bahkan, psikiater itu mengatakan bahwa ia memang Clara, kakaknya sendiri. Namun, Zahra tidak menerima hal itu dan memilih hengkang dari hadapan wanita itu (hlm. 68—70).
7. Perubahan wajah pramugari: Dalam perjalanan ke kota rantau, Zahra mendapati wajah-wajah pramugari berubah menjadi wajah Clara. Perubahan itu terjadi berulang-ulang (hlm. 80).
8. Dekorasi kamar Clara di kamar Zahra: Zahra heran ketika melihat dekorasi kamar kosnya tidak ubahnya seperti kamar Clara di rumah (hlm. 83—83).
9. Mug Clara di kamar kos Zahra: Zahra merasa heran ketika ibu kos menyatakan bahwa seorang gadis telah mengantarkan gelas itu kepadanya (hlm. 84—85). Ketika Zahra kembali ke rumah, mug itu sudah ada di kamarnya (hlm. 108).
10. Berlipatnya jumlah anak tangga: Nenek menaiki tangga menuju kamar kos Zahra dengan perjuangan yang sangat berat ia merasa menaiki seratus anak tangga sementara setelah sampai dilihatnya ke bawah jumlah anak tangga itu hanya 13 buah (hlm. 94).
11. Keanehan yang dialami suami Zahra, Bayu, selama kehamilan istrinya: Zahra tidak merasakan keanehan sedikit pun selama mengandung. Namun, rasa mual yang hebat justru dirasakan oleh Bayu. Selain itu, gerakan janin juga tidak dirasakan oleh Zahra, tetapi Bayu yang merasakan gerakan itu. Zahra tidak merasakan sakit saat akan melahirkan. Sebaliknya, Bayulah yang didera derita luar biasa menjelang kelahiran anaknya, Ganet (hlm. 114—118).
12. Nama Clara tertulis di dada Ganet: Laksma menemukan tulisan nama Clara pada dada Ganet, keponakannya yang baru saja lahir. Ia teringat kembali pada tulisan nama yang sama yang digoreskan di dada Clara pascakematiannya (hlm. 120—123 dan 133).
13. Perubahan wajah ibu ketika memangku Ganet: Wajah ibu berubah menjadi muda seperti saat ia baru melahirkan Clara dulu (hlm.126—127).
14. Ganet bisa bicara saat masih berusia empat bulan: Laksma mendengarkan musibah yang akan menimpa suaminya dari mulut Ganet (hlm. 158—159).
15. Setahun sekali Ganet tidur seharian: Zahra ingat Clara selalu berpuasa seharian saat hari ulang tahun dan baru makan pada pukul 12 malam menjelang pergantian hari. Tepat pada hari ulang tahun Clara, Ganet tertidur seharian dan baru terjaga tengah malam (hlm.162—163).
16. Selera Ganet mirip dengan selera Clara: Ia sangat menyukai boneka kura-kura (hlm. 163—165). Dekorasi di kamar Ganet pun sama persis dengan dekorasi di kamar Clara (hlm. 207).
17. Suara Ganet berubah menjadi suara Clara: Laksma mendengar sendiri perubahan suara Ganet (hlm.170—172).
18. Ganet mampu memberikan informasi yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Hal itu terjadi ketika Zahra lupa kepada teman sekosnya dulu (hlm. 183—185).
19. Daya nalar dan kepekaan Ganet terhadap peristiwa yang akan datang sangat tinggi. 192, 200, 205, 208—209, 212—213, 224—226, 237—240, 246—257).
20. Ganet memiliki alibi: Ketika ibu gurunya menderita depresi karena musibah kecelakaan yang menimpanya, Ganet mengunjungi ibu gurunya itu dan turut menenangkannya. Padahal, pada saat yang sama Ganet tertidur pulas hingga denyut nadinya melemah. Ketika Ganet kembali, gadis kecil itu terjaga (hlm. 229–236). Ganet juga beralibi menemui Carol di dalam pesawat yang akan membawanya ke luar negeri. Padahal pada saat yang bersamaan Ganet tertidur pulas (hlm. 240—241).
21. Jarak yang kian menjauh: Laksma mendadak menempuh jarak yang sangat jauh untuk menuju rumah Zahra hingga sangat kelelahan dan setengah linglung (hlm. 244—245).
22. Masa hidup Ganet dan Clara sama: Ganet meninggal tepat ketika menginjak usia 13 tahun. Keduanya meninggal dalam kondisi pencarian jati diri Tuhan dan sebelumnya mengalami perjalanan rohani yang sama, di antaranya berkunjung ke neraka dan surga (hlm.271—281).
Selama hidupnya Clara sangat dekat dengan adiknya, Zahra. Sebaliknya, sang kakak, Laksma, tidak demikian. Kelahiran Clara seakan meretas benang kasih sang ibu kepadanya. Kondisi Clara yang lemah tentunya menuntut perhatian khusus sang ibu kepadanya. Laksma merasa tersisihkan. Ia tidak segan-segan melampiaskan kekesalannya itu kepada Clara dengan berbagai cara. Kelahiran Zahra dapat menghibur Clara karena ia memiliki sahabat berbagi suka dan duka. Demikian pula, Zahra sangat menyayangi kakaknya. Kematian Clara sangat ia sesali karena tidak sempat memberikan apa yang diinginkan sang kakak menjelang ajalnya. Zahra tidak dapat mendampingi Clara saat orang terkasih itu tiada. Suasana kepedihan Zahra tercermin dalam kutipan berikut.
Sejak itu hari-hari Zahra adalah seorang perawan yang tengah menunggu kereta api di stasiun terakhir. Tak satu pun kereta yang datang berhenti di depan Zahra. Kepergian Clara sangat membuat Zahra terpukul. Ia kehilangan saudara, kakak, teman, sahabat, ibu, guru, dan entah sebutan apa lagi. Sebab hanya kepada Clara, Zahra menemukan kedamaian. Kedamaian yang tak mampu ibu dan ayah Zahra penuhi. (PMT:31)
Kematian Clara bukan merupakan akhir persahabatan mereka. Sepeninggal teman curhatnya itu, Zahra tidak pernah kehilangan Clara. Rupanya Zahra dikaruniai kepekaan yang luar biasa. Ia selalu berkomunikasi dengan Clara. Clara rupanya masih mencintai kehidupan di dunia dan enggan meninggalkan orang-orang yang ia cintai. Clara telah mendapat izin dari Tuhan untuk mengunjungi orang yang ia rindukan, Zahra. Jadilah komunikasi di antara keduanya berlanjut. Bahkan, Clara masih bisa mencicipi masakan ibunya yang disisihkan Zahra untuknya. Kamar Clara pun masih dibiarkan seperti aslinya dan dirawat seperti saat Clara masih hidup.
Kelebihan yang dimiliki Zahra tersebut rupanya menuai reaksi pro dan kontra dari keluarganya. Ibu, nenek, dan kakaknya tidak mempercayai Zahra yang mampu berhubungan dengan Clara. Mereka menganggap bahwa Zahra bersikap sangat aneh sepeninggal Clara.
Nenek yang pernah memvonisnya tak waras. (PMT:92)
Keikhlasan ibu untuk melepaskan Clara terusik dengan tingkah aneh Zahra. (PMT:35)
“Berhentilah bersikap aneh,” ujar Laksma lagi. (PMT:65)
Ibu telah berupaya keras untuk ‘menyembuhkan’ Zahra agar tidak menceracau tentang Clara, di antaranya membawa si bungsu kepada seorang psikiater.
Zahra sedikit gusar. Tak ada gunanya ia berlama-lama di depan psikiater ngawur itu. Ia tak mendapatkan apa-apa. Psikiater itu sama dengan nenek, ibu, dan Laksma. Jadi, untuk apa ia berlama-lama di situ. Serta merta ia beranjak dari duduknya. Berlalu dari ruangan itu. (PMT:70)
Namun, hal itu tidak pernah berhasil. Zahra kembali seperti semula, senang berbicara dengan Clara dan menyendiri. Ibu yang akhirnya putus asa, mengalihkan kekecewaannya itu pada pekerjaannya, workaholic. Nenek juga tidak percaya kepada Zahra sampai akhirnya wanita tua itu melihat sendiri keajaiban yang dialami cucunya itu. Laksma sama sekali tidak mempercayai Zahra hingga akhirnya ia mendapati bahwa kelak keponakannya, anak Zahra yang bernama Ganet, dikaruniai tanda-tanda yang cenderung identik dengan Clara.
Reaksi negatif dari keluarga yang diterimanya membuat Zahra memutuskan untuk menarik diri dari lingkungannya. Ia cenderung mengurung diri di kamar seharian sepulang dari sekolah. Komunikasi dengan anggota keluarga lainnya menjadi hambar. Satu-satunya jalan adalah pergi ke kamar Clara dan menunggu kehadiran sang kakak yang mampu menutup rasa hampa dalam diri Zahra.
Puncak dari kekecewaan Zahra adalah keputusannya untuk hengkang dari rumah, meninggalkan nenek, ibu, dan Laksma. Meskipun harus bersitegang dengan ibunya, Zahra tidak bergeming. Ia bersikeras untuk melanjutkan sekolahnya di perantauan.
Perjalanan di pesawat adalah perjalanan yang panjang. Setiap kali pesawat menempuh kilometer, jarak tujuan terasa bertambah jauh. Entah mengapa di atas pesawat itu Zahra merasa sendirian di alam lepas. Awan putih dengan titik air bening menggumpal di kaca jendela pesawat. Pergi dari rumah tanpa restu dan dukungan ibu telah ia lakukan.
Meskipun Zahra ngeri dengan ancaman ibunya, ia tetap bertekad belajar di kota propinsi. Tabungan dan beasiswa yang ia punya cukup untuk membiayai kuliah hingga selesai, sedang untuk tinggal dan makan mau tak mau ia harus bekerja. Bekerja? Sebagai apa. Pekerjaan apa yang bisa dilakukan anak selepas SMU. (PMT:74)
Pertemuan dengan Clara tiada terputus. Clara masih menemuinya. Namun, setelah pertemuannya dengan Bayu, lelaki yang mencintainya, Clara tidak lagi dapat menemuinya. Pada pertemuan terakhirnya dengan sang kakak, Zahra mendapat perintah dari kakak tercintanya itu untuk menerima pinangan Bayu. Clara mengatakan bahwa hanya melalui Bayulah ia dapat mengunjungi Zahra kembali.
Perkawinan Bayu dan Zahra membuahkan seorang bayi perempuan yang cantik bernama Ganet. Fisik dan seleranya sangat mirip dengan Clara. Kelahiran Ganet sama halnya dengan kematian Clara, sama-sama membuahkan peristiwa aneh. Ketika digendong oleh neneknya, wajah sang nenek berangsur-angsur menjadi muda kembali seperti saat ia melahirkan Clara dulu.
Diangkatnya Ganet pelan-pelan dengan penuh perasaan. Zahra melihat ada perubahan besar dalam diri ibu. Ia lihat pelan-pelan wajah ibu jauh lebih muda. Ibu seperti baru saja melahirkan, ya, ibu seperti baru melahirkan Clara. Ibu sangat cantik, berkulit bersih, matanya bersinar. Ibu mencium Ganet dalam-dalam dan menyebut nama Clara. Zahra tercengang. Ia dengar betul ibu menyebut nama Clara saat mencium Ganet. (PMT:127)
Ketika Clara meninggal, Laksma dengan iseng menuliskan nama Clara di dada adiknya yang telah membujur kaku itu. Namun, setelah Ganet lahir, tanpa sengaja ia membuka baju bayi itu dan menemukan tulisan nama yang sama di dada keponakannya yang masih merah itu.
Pelan-pelan Laksma membuka baju si bayi. Ia menelisik ke dada si bayi. Deg, jantung Laksma berpindah tempat. Pada dada si bayi jelas-jelas tertera nama Clara dengan tinta warna hitam. Tinta yang sama ketika ia menorehkan nama Clara pada dada Clara. (PMT:120)
Namun, keanehan tersebut hanya dapat dilihat oleh Laksma dan Zahra. Bayu dan ibu tidak melihatnya. Keanehan itu semakin berkembang seiring perkembangan tubuh Ganet. Ganet sudah dapat berbicara ketika menginjak usia empat bulan. Selain itu, kemampuan Ganet yang lain muncul seiring kemampuannya untuk berbicara. Ganet dapat menyampaikan peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
“Jangan pergi.”
Laksma terkejut. Ia yakin ucapan yang baru saja ia dengar bukan berasal dari ibu. Laksma memandangi Ganet dengan keheranan yang luar biasa. Ia semakin terheran-heran dengan pembicaraan Ganet yang sangat lancar.
“Nenek tak bohong, Ganet yang minta bertemu dengan Tante.”
Laksma bengong.
“Ada sesuatu yang mesti Ganet sampaikan.”
Laksma menautkan kening.
“Akan ada kabar buruk datang. Kapal suami tante tertabrak karang. Seluruh awak kapal meninggal.”
“Ganet.”
“Ini benar, Tante.”
Dada ibu bergemuruh, sedang Laksma seperti ingin mati. Ganet mengatakan suaminya akan meninggal. Itu menyakitkan. (PMT:158—159)
Kemampuan supranatural Ganet semakin berkembang seiring perkembangan usianya. Dengan spontan ia akan menyampaikan informasi futuristik kepada orang yang bersangkutan, di antaranya, keluarga teman kuliah ibunya, guru wali, tetangga, presiden, termasuk kerabatnya sendiri. Tentu saja informasi yang disampaikan Ganet mengundang pro dan kontra dari pihak yang bersangkutan. Ganet selalu dianggap mengada-ada, bahkan cenderung ditertawakan. Kata-kata Ganet dianggap angin lalu. Namun, ada pula yang menerima dan mengikuti kata-katanya. Salah seorang di antaranya adalah Sandra, teman ibu Ganet semasa kuliah dulu. Sandra dan kedua adiknya, Ester dan Carol, sudah tiga tahun lamanya tidak mengunjungi tanah kelahirannya dan makam ibu mereka. Ketika bertemu dengan Ganet, gadis kecil itu mengatakan bahwa makam ibunya sangat tidak terawat dan jika ketiga bersaudara itu tidak memperbaiki makam itu mereka akan tertimpa bencana. Semula Sandra tidak mempercayainya. Namun, akhirnya ia mencoba untuk mengikuti informasi anak ajaib itu. Diupayakannya untuk mengumpulkan dua saudaranya yang sama-sama supersibuk. Hanya Esterlah yang kurang memedulikan rencana itu. Sandra akhirnya berangkat sendirian dan memperbaiki makam ibunya serta rumah tempat ia menghabiskan masa kecilnya dulu. Selanjutnya, Ganet mengabarkan kabar buruk kepada Ester bahwa Ganet mengatakan Ester akan kehilangan pekerjaannya. Tidak lama kemudian Ester mengalami hal itu. Lalu, Ganet menyarankan kepada Ester untuk melakukan sesuatu yang dulu sangat disukai oleh mendiang ibunya. Ester pun melakukan hal itu. Tidak lama kemudian Ester kembali mendapatkan panggilan kerja dari sebuah perusahaan. Ganet juga melakukan hal yang sama kepada Carol. Ketika Carol hendak bepergian dengan menggunakan kereta api, Ganet melarangnya dengan keras. Ganet melihat bayangan musibah tabrakan kereta api di pesawahan. Peristiwa itu sangat mengerikan. Carol pun terpaksa membatalkan kepergiannya meskipun telah membeli tiket kereta. Ganet pun meminta Carol untuk tinggal sementara di rumah selama beberapa hari. Tidak lama kemudian Carol menyaksikan peristiwa itu di televisi.
Ganet merasa sedih dan sesal ketika kata-katanya tidak ditanggapi. Terlebih ketika pihak istana kepresidenan menganggapnya angin lalu. Ia menyampaikan bahwa ibu kota akan dilanda banjir besar yang luar biasa mengerikan. Padahal, saat itu negeri ini sedang dilanda musim kemarau panjang. Pihak istana menyepelekan kata-katanya. Ganet dilanda rasa sedih dan sesal yang sangat dalam. Ia pulang dengan tangan hampa. Tidak berapa lama kemudian hujan terus-menerus mengguyur ibu kota. Air yang melimpah ruah itu tidak mampu dikendalikan dan merusak hampir seluruh wilayah kota metropolitan itu. Bahkan, sang presiden yang sempat melecehkan gadis ajaib itu terpaksa harus kehilangan anggota keluarganya. Korban jiwa pun berjatuhan tiada terhingga. Ganet hanya dapat menyaksikan poeristiwa itu dengan penyesalan yang luar biasa. Hal itu membuatnya sakit. Kondisi Ganet memburuk sejak saat itu.
Selain dapat meramalkan hal-hal pada masa yang akan datang, Ganet juga mampu beralibi. Jika demikian, di kamar ia tampak seperti tertidur pulas. Namun, pada saat itu jiwanya sedang mengunjungi orang-orang yang ia perhatikan. Ketika guru walinya mendapat musibah, ia datang mengunjunginya di rumah sakit. Padahal pada saat yang sama Zahra dan Laksma menyaksikan gadis itu sedang tertidur lelap. Namun, denyut nadi Ganet melemah. Setelah nyawa Ganet kembali, kondisinya akan kembali seperti semula.
Kemampuan Ganet pun memiliki ambang batas. Ganet tidak dapat membaca pikiran ibunya. Pada saat itu Zahra sedang terhanyut ke alam penyesalan. Penyesalan yang selalu datang pada akhirnya. Ganet terus berusaha membaca isi benak ibunya, tetapi tetap tidak bisa. Gadis kecil itu baru menyadari kelemahannya setelah mendapat bisikan Clara bahwa kemampuannya hanya muncul dengan sendirinya.
Zahra dan Ganet merupakan anak indigo. Namun, kadar keindigoan mereka sangat berbeda. Zahra hanya dapat menembus alam Clara dan berkomunikasi dengan mendiang kakaknya itu. Namun, Ganet memiliki kadar keindigoan yang lebih besar, bahkan sangat besar untuk ukuran anak seusianya itu. Selain dapat berkomunikasi dengan Clara, Ganet juga mampu menyampaikan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Sensitivitas Ganet sangat besar.
Sebagai anak indigo Zahra dan Ganet memiliki kesamaan, yaitu tidak mendapatkan tempat yang layak sebagai seorang anak indigo. Ketika Zahra mengatakan bahwa ia sering didatangi oleh Clara, anggota keluarganya yang lain menunjukkan reaksi kontra. Mereka menuduh bahwa Zahra sudah tidak waras, bertingkah aneh, dan pandai berhalusinasi. Karena tidak tahan dengan keanehan Zahra, ibu memutuskan untuk menjaga jarak dengan Zahra. Komunikasi dengan anggota keluarga lainnya pun terasa hambar. Akhirnya, Zahra pun menarik diri dan mengurung diri di kamar. Terlebih setelah keputusan ibu untuk mengubah kamar Clara menjadi gudang dilaksanakan. Puncaknya adalah larinya Zahra dari rumah dan melanjutkan kuliah di kota provinsi.
Ganet juga mengalami hal yang sama dengan Zahra, yaitu tidak mendapat tempat di hati keluarga terdekatnya, terutama ibunya. Satu hal yang sulit dimengerti, keanehan Ganet tidak akan tampak jika ayahnya, Bayu, berada di dekatnya. Ganet merasakan kesepian dan kesedihan yang justru dirasakan oleh Zahra. Ketika Zahra dianggap ‘tidak sembuh’ oleh ibunya, ia ditinggalkan wanita yang melahirkannya itu. Ibunya lebih memilih menjaga jarak dengan Zahra dan mencurahkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaannya. Ibu baru pulang larut malam saat Zahra telah tertidur. Zahra merasakan betapa orang-orang dekatnya, terutama ibunya, telah meninggalkannya. Padahal, saat itu ia sebenarnya sangat memerlukan kehadiran mereka.
Zahra menatap ibunya dengan penuh heran. Ada gerangan apa ibu menemuinya. Bukankah selama ini ibu seperti menghindar dari Zahra tanpa alasan yang jelas. Ya, sejak Clara orang yang paling dekat dengannya meninggal, ibu justru menjauh darinya. Padahal selama Clara meninggal Zahra sering kesepian dan kangen dengan ibu. Selalu ibu mengunjunginya meski hanya untuk merapikan selimut yang sesungguhnya sudah rapi. Dulu ada saja yang ibu katakan menjelang Zahra tidur. Sekarang tak terasa hampir satu tahun ibu telah meninggalkan kebiasaan yang hangat itu. (PMT:36)
Apa yang dialami oleh ibunya dulu juga dialami oleh Zahra. Zahra tidak mampu menerima keanehan yang dimiliki oleh Ganet. Zahra memutuskan untuk kembali bekerja demi menghindarkan diri dari penglihatannya terhadap kelebihan pada diri Ganet. Zahra tidak menyadari bahwa Ganet juga merasakan kesedihan dan kesepian seperti yang pernah ia alami dulu. Bahkan, Ganet sangat membenci ibunya. Beruntung ia masih memiliki tempat untuk mencurahkan isi hatinya, yaitu Laksma. Laksma sangat memahami apa yang pernah terjadi pada diri Zahra dan kini pada diri keponakan kecilnya itu. Melihat kesibukan dan sikap Zahra, Laksma bersikeras untuk merawat Ganet sepenuh hati. Terlebih setelah ia kehilangan suaminya, perhatian Laksma sepenuhnya tercurah kepada gadis itu. Laksma tidak menginginkan Ganet membenci ibunya. Ia berjuang untuk melekatkan kembali ikatan di antara keduanya yang sudah kendur itu. Zahra kemudian menyadari hal itu. Ia berusaha untuk mendampingi putrinya meskipun selalu tampak kewalahan menghadapi keanehan putrinya itu. Zahra sebagai anak indigo tidak mampu menerima kodrat putrinya yang juga indigo. Seharusnya posisi Ganet lebih baik karena berada di dekat seseorang yang juga indigo. Namun, posisi Ganet sama saja dengan posisi Zahra dahulu. Sama-sama tidak nyaman.
Lingkungan sekitar Zahra dan Ganet senantiasa monoton, yaitu menghendaki keduanya untuk bertindak seperti anak normal lainnya. Zahra tidak menghendaki kemampuan Ganet untuk menyampaikan prediksi masa depan. Demikian pula anggota keluarga tidak menghendaki Zahra berbicara tentang pertemuannya dengan Clara. Kelebihan yang dimiliki oleh Zahra dan Ganet tampak menjadi bumerang bagi orang-orang di sekitarnya. Khusus bagi Ganet, hal itu juga berlaku bagi orang-orang yang akan mengalami peristiwa yang diprediksinya.
Sikap lingkungan yang tidak berterima itu mendorong Zahra dan Ganet pada situasi yang sangat sulit. Zahra harus mengasingkan diri dari rumah dan anggota keluarganya. Lebih parah lagi, Ganet memburuk kondisinya ketika menyadari bahwa orang-orang yang ia prediksikan nasibnya itu menolaknya dan, kemudian, mengalami kejadian yang sangat menyedihkan. Batin Ganet pun terkoyak hebat. Stamina Ganet memburuk.
Zahra dan Ganet sama-sama tidak mendapatkan penanganan yang baik dari keluarganya. Latar belakang keluarganya yang broken home dan tiadanya sosok sang ayah, mendorong Zahra menuntaskan kelebihan yang dimilikinya dengan menjauh dari kehidupan keluarganya. Ganet sedikit lebih beruntung. Ganet memiliki latar orang tua yang utuh. Namun, sang ayah tidak pernah mengetahui kelebihan yang dimilikinya. Komunikasi Zahra tentang hal itu tidak pernah terjadi dalam keluarga. Namun, dukungan Laksma membuat Ganet memiliki sedikit celah untuk mengaktualisasikan kelebihannya itu. Zahra dan Ganet juga tidak digambarkan memiliki hubungan dengan teman-teman sebayanya. Mereka hanya digambarkan berkutat dengan lingkungan keluarga yang aggotanya notabene usianya lebih tua.
Kurangnya pendidikan religi juga mendukung sikap negatif keluarga dan Zahra sendiri. Clara baru mengenali Tuhannya tepat ketika di penghujung hayatnya. Demikian pula Ganet. Gadis itu juga berusaha menelusuri arti Tuhan dan makna kebesaran-Nya tepat ketika ia meregang nyawa yang hanya sejengkal lagi itu. Sosok ayah yang tidak pernah tergambarkan dalam cerita justru mengundang misteri dan sejuta pertanyaan (kecuali kiriman bunga mawar sesaat pascakematian Clara). Bukan tidak mungkin jika ayah Zahra berlatar belakang keyakinan yang berbeda. Hal itu tercermin dalam nama Clara yang berbau nasrani, yaitu Theodora Clara Dewi. Sementara itu, nama Zahra dan Laksma tidak pernah terungkapkan. Bukan tidak mungkin perbedaan keyakinan itulah yang menyebabkan terjadinya perpecahan di antara kedua orang tua tiga bersaudara itu. Hal itu pula yang memicu hambarnya pendidikan agama di lingkungan terkecil itu. Makna dan hakikat Tuhan tidak pernah tertanamkan sejak dini.
Ditinjau dari segi keturunan, Ganet memiliki garis indigo dari ibunya, Zahra. Sementara itu, tidak tertutup kemungkinan Zahra mengalami hal yang sama dari generasi sebelumnya.
Hembusan arus hidup globalisasi juga tercermin dalam novel ini. Gaya hidup yang cenderung serba cepat mendorong manusia menjadi mudah frustasi. Hal ini tercermin dari sikap ibu, Laksma, dan Zahra. Ibu tidak sabar dalam menghadapi kelebihan yang dimiliki oleh Zahra sehingga ikatan batin di antara keduanya menjadi hambar dan renggang. Laksma tidak sabar dalam menghadapi kondisi Clara yang sakit-sakitan. Bahkan, Laksma sempat menghendaki kematian adiknya itu. Zahra tidak sabar dalam menghadapi perilaku Ganet yang sebenarnya sama dengan dirinya. Zahra bersikap seperti ibunya, yaitu menghendaki perubahan pada diri orang lain dalam waktu cepat tanpa upaya dan kegigihan untuk menangani hal itu. Hubungan Zahra dan Ganet tidak ubahnya seperti hubungan Zahra dan ibu dulu. Perbedaannya ialah Ganet masih memiliki Laksma, sedangkan Zahra tidak mendapatkan pelabuhan curhat yang kasat mata seorang pun.
3. Simpulan
Novel Perempuan Mencari Tuhan merupakan rangkaian refleksi kehidupan anak indigo yang tidak mendapatkan penanganan secara tepat. Kelebihan yang dimiliki para indigo dalam cerita itu tidak mendapatkan tempat di lingkungan sekitarnya. Seperti dalam kisah indigo di dunia nyata, reaksi yang diterima dari lingkungan sekitar adalah reaksi kontra. Hal itu sangat menyulitkan kaum indigo untuk mengaktualisasikan kelebihan yang dimilikinya itu. Tidak tampaknya hubungan sosial dengan teman sebaya menyulitkan keseimbangan hubungan sosial sang indigo. Tokoh indigo dalam novel tampak terjerumus ke dalam dunia supranatural karena kurangnya latar pemahaman religi. Berkaitan dengan silsilah, teori yang mengatakan bahwa bakat indigo merupakan bakat turunan, juga terbukti. Ganet mendapatkan talenta indigo dari ibunya, Zahra.
Deraan arus globalisasi juga terasa kental dalam cerita. Arus tersebut cenderung mendorong manusia untuk mengembangkan gaya hidup cepat. Hal itu berimbas pada kejiwaan manusia. Manusia menjadi mudah depresi. Kesabaran menjadi prioritas nomor sekian. Hal itu tercermin dalam sikap tokoh ibu, Laksma, dan Zahra dalam menghadapi fakta yang ada. Lingkungan yang tidak berterima tersebut juga mudah mendorong anak indigo menjadi frustasi. Zahra dengan kepergiannya dan Ganet dengan sakitnya.
Beberapa karakteristik anak indigo seperti yang dikemukakan Tobler juga tercermin dalam cerita, di antaranya sebagai berikut: (1) Zahra dan Ganet memiliki kepekaan yang tinggi atau indera keenam, (2) Ganet mampu berfikir futuristik, (3) cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar, dan (4) sering bersitegang dengan orang terdekat terutama ibu dalam mempertahankan prinsip tertentu.
Daftar Pustaka
Bataviase. 2007. “Jiwa Tua Anak Indigo” dalam http://bataviase.wordpress.com/2007/04/30/jiwa-tua-anak-indigo/ diunduh tanggal 16 Maret 2009 jam 15:34
Eriyanti. 2009. “Indra Keenam Anak Indigo” dalam suplemen “Geulis” Pikiran Rakyat edisi Minggu, 22 Februari 2009, halaman 17.
http://dearlucky.blogspot.com/2007/08/anak-indigo-itu-hebat.html diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:40
http://forum.wintersat.com/science-n-art/1173-fenomena-anak-indigo.html diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:40
http://www.indospiritual.com/artikel_anak-indigo–aset-negara-yang-harus-diperhatikan.html diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:38
http://kontaktuhan.org/news/news186/fr_26.html diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:13
Mohammad, Herry et al. 2004. Liputan khusus Gatra dalam http://209.85.175.132/search?q=cache:aXL0mG13XR8J:www.gatra.com/2004-05-9/artikel.php%3Fid%3D35187+ANAK+INDIGO&cd=8&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:36
Rimba, Leonardo. 2005. “Anak Indigo dan Sistem Pendidikan Kita” dalam http://www.mail-archive.com/psikologi_net@yahoogroups.com/msg00170.html diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:34
Yaya. 2007. “Anak-Indigo” dalam http://myhealthblogging.com/parenting/2007/08/23// diunduh tanggal 16 Maret 2009 pukul 16:25
Yudhistira, Dianing Widya. 2007. Perempuan Mencari Tuhan. Jakarta: Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar