Pak effendi atau kakek Pepep adalah mertua dari salah satu om ku. Pertama aku melihat beliau, aku terkagum-kagum dan berkata dalam hati “pasti bapak ini waktu mudanya ganteng banget deh”. Kakek Pepep ini emang kelihatan ganteng walaupun usianya sudah ga muda lagi, tapi badannya masih terlihat gagah walaupun dia mengidap penyakit ginjal dan harus melakukan cuci darah seminggu dua kali. Walaupun begitu, beliau masih punya semangat hidup yang tinggi. Istri, anak-anak, dan menantu-menantunya dengan setia mengantar dan menunggu ritual wajib cuci darah itu. Pernah suatu hari aku menengoknya yang sedang melakukan cuci darah, raganya sudah mulai berbeda dari yang pertama kali aku lihat, beliau mulai mengurus dan terlihat bengkak disekujur tubuhnya. Keluarganya selalu bilang “ikhlas kalo papa diambil. Kasian papa sakit terus”. Bahkan cucunya yang masih taman kanak-kanak juga bilang “kakek pepep sakit, tuh lagi cuci darah”. Ocehan khas anak kecil yang menggemaskan tapi juga ga tega melihat kakeknya bolak-balik ke rumah sakit.
Lama sekali aku ga menengok kakek
Pepep karena kesibukan dan aku juga sudah mulai lupa dengan beliau, maklumlah
beliau bukan saudara dekat yang sering aku jumpai. Sekitar tiga bulan setelah
aku menengoknya yang sedang cuci darah di rumah sakit, aku mendengar kabar
kalau beliau sedang sekarat. Aku ingat waktu itu hari Minggu, aku dan mama
papaku berniat untuk menjenguknya di rumah, tapi salah satu tanteku meminta
kami untuk datang ke rumah nenek dulu. Akhirnya kami batal menjenguk kakek
Pepep karena sudah terlalu malam, takut mengganggu. Jadilah besok sorenya kami
datang ke rumah beliau dengan membawa mangga yang kami pikir bisa dimakan oleh
beliau karena beliau sudah tidak mau dipantang makan apapun lagi. Ketika masuk
rumahnya, aku kaget melihat beliau sudah tertidur di lantai beralaskan kasur di
ruang tengah tanpa sadarkan diri dan hanya ngorok seperti orang susah bernafas.
Aku, mama, papa, istrinya kakek Pepep, dan seorang anaknya duduk mengitari
kakek Pepep. Aku ga berbicara sepatah kata pun, hanya menatap kakek Pepep yang
sedang tertidur dengan nafas yang terlihat sulit. Sekitar beberapa menit aku
mendengarkan cerita tante Novi, anak kakek Pepep, “papa udah begini aja dari
kemaren. Sebelumnya papa ngajak kita semua ngaji, dia nyuruh kita ngikutin dia
baca Al-Fatihah tapi dia yang nuntun, bukan kita”. Subhanallah, seseorang yang
sudah sekarat yang biasanya dibimbing membaca ayat-ayat Al Quran, malah beliau
yang menuntun istri dan anak-anaknya. “Papa juga masih rajin ke mesjid tiap
waktu shalat lima waktu pas masih bisa jalan sampai akhirnya ga lagi setelah ga
bisa jalan. Papa juga selalu mandi tiap masuk waktu shalat”. Subhanallah.
Mama tanya sama anak dan istrinya
kakek Pepep “apa masih ada yang ditunggu ga? Saudara atau siapa gitu?”. “ga ada
mba, adiknya cuma satu, itu juga udah kesini” cerita istri kakek Pepep. “ya
udah yang ikhlas aja ya, semuanya harus ikhlas” mama minta semua keluarga untuk
ikhlas.
Ga lama kita berbincang-bincang
disana, bahkan setengah jam pun ga sampai. Tiba-tiba nafas kakek Pepep terlihat
lega, nafasnya ga tersenggal-senggal lagi, nafas seperti orang normal. “oh udah
ga ada lendirnya lagi mungkin” itu yang ada dipikiran aku. Tapi tiba-tiba
nafasnya kembali seperti orang ngorok lagi, dan tiba-tiba menjadi lega lagi. Istri
kakek Pepep langsung histeris dan ngambil Al Quran yang ada di lemari belakang aku, dan semua anak-anaknya
histeris nangis sambil memeluk kakek Pepep, saat itu juga air mataku mengalir. “jangan
nangis, baca lahilallah, ayo baca” mama aku mencoba menenangkan situasi yang
sudah terlanjur histeris. “Lahilahailallah….lahilahailallah…. Papa…Papa….” Istri,
dua anaknya, dan dua menantunya mencoba membimbing sang ayah dalam sakaratul
mautnya. Papa ku sibuk menelpon keluarga yang lainnya, sementara om ku mencoba
menelpon istrinya yang kebetulan bekerja hari itu, dan aku mencoba mengajak
Tanisha, cucu kakek Pepep yang sedang main untuk melihat kakeknya. Tanisha cuma
tanya “kok kakak Onya ga nangis? Itu yang lain semuanya nangis” aku cuma bisa
tersenyum sambil menahan tangis dan mengajak Tanisha untuk mendoakan kakeknya. Om
ku mencoba mencari detak nadi ayah mertuanya, tapi ga ketemu. Lalu mamaku
memberikan kaca, “taro kaca di deket hidungnya, kalo basah berarti masih ada” dan
itu dilakukan om ku, “kering mbak”. Tangis pecah dan semua tetangga yang masih
ada hubungan saudara pun datang dengan tangis mereka. Innalillahi wainalillahi
rojiun.
Subhanallah, sungguh indah cara
malaikat Izrail menjemput kakek Pepep yang dikelilingi istri, anak, menantu,
dan cucunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar